NURTURING RISK CULTURE

Kami yakin, sebagian dari Anda pasti sependapat ketika dikatakan bahwa risiko merupakan dampak yang sifatnya negatif. Namun, ternyata hal ini tidak selalu demikian. Dalam ISO 31000:2018 tentang Sistem Manajemen Risiko, dijelaskan bahwa risiko adalah pengaruh ketidakpastian pada tujuan. Pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat positif, negatif, atau keduanya. Pengaruh ini timbul akibat dari suatu tindakan atau kegagalan dari penanganan suatu peluang atau ancaman. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa risiko yang dikelola dengan salah akan berakibat pada kerugian (lost), sedangkan risiko yang dikelola dengan benar akan berpotensi untuk memberikan keuntungan (gain).

Masalahnya, tidak semua organisasi atau perusahaan sadar dengan adanya risiko. Padahal, pada dasarnya risiko merupakan hal yang dapat diantisipasi. Cara yang paling sederhana dalam mengantisipasi risiko adalah dengan melihat kepada historical data. Secara umum, beberapa risiko terjadi berulang-tahun.

 

Bagaimana dengan organisasi atau perusahaan Anda?

Apakah mengalami masalah yang sejenis?

Bila ya, Selamat Ber-ulang tahun risiko organisasi Anda

 

Hal ini membuktikan bahwa risiko itu terjadi secara berulang, bisa jadi ia memiliki pola tertentu. Oleh karena itu, agar penangannya tepat, kita perlu melihat historical data sehingga dapat menyiapkan upaya antisipasi yang tepat pada waktu yang tepat pula.

Lalu, apakah mempersiapkan antisipasi atau cara penanggulangan risiko sudah cukup? Jawabannya adalah belum. Mengingat kemunculan risiko terjadi secara berulang-ulang setiap tahunnya, maka semua pihak yang berperan dalam mengelola risiko di sebuah perusahaan/organisasi seharusnya selalu sadar (aware) dengan adanya risiko pada setiap kegiatan yang mereka lakukan. Kesadaran inilah yang selanjutkan akan membentuk sikap peduli terhadap risiko; kebiasaan untuk selalu mempertimbangkan kemunculan risiko; dan akhirnya menumbuhkan budaya sadar risiko (risk culture). Risk Culture yang dikelola dengan baik akan memberikan dampak yang baik pula untuk perusahaan/organisasi, yaitu meningkatkan nilai (profit) dan menekan kerugian (loss). Disamping itu, menurut penulis, Risk Culture juga bisa menjadi salah satu solusi dari perspektif strategi budaya untuk mengatasi situasi-situasi yang bercirikan VUCA (Volatile, Uncertainty, Complex, Ambigu) bahkan sekarang sudah masuk kondisi TUNA (Turbulent, Uncertainty, Novel, Ambigu) yang sedang di alami kita saat, yaitu pandemi Covid-19, climate change dan resesi ekonomi global. Karena Risk Culture dengan manajemen risiko terpadu akan membuat setiap orang untuk selalu mengumpulkan data dan informasi sehingga mampu membuat prediksi atau harapan masa depan yang bermanfaat dalam menghadapi situasi bercirikan VUCA & TUNA.

Semua narasi diatas menunjukkan pentingnya menumbuhkembangkan budaya sadar risiko di setiap perusahaan/organisasi. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian kita adalah siapa yang akan menjadi pelaksana mewujudkan penerapan manajemen risiko terpadu dan budaya sadar risiko tersebut?

Secara umum, hampir semua perusahaan, organisasi, atau negara sudah memiliki Unit Kerja Manajemen Risiko sebagai unit penanggung jawab pelaksanaan manajemen risiko. Namun, kenapa manajemen risiko belum berjalan efektif? Besar kemungkinan kegagalan tersebut  terjadi karena pengelolaan risiko belum dilakukan secara optimal. Berdasarkan ISO 31000:2018 tentang Sistem Manajemen Risiko, disebutkan bahwa Risk Management harus melibatkan kepemimpinan dan komitmen; mempertimbangkan ruang lingkup, kriteria, dan konteks penerapan (internal dan eksternal); dan mempertimbangkan faktor manusia dan budaya. Dengan demikian, jika perusahaan hanya mengandalkan tim di Unit Kerja Manajemen Risiko tentu hasilnya juga tidak akan maksimal. Kenapa manusia dan budaya ikut dipertimbangkan? – karena risk culture terbentuk dari perubahan sifat, sikap, dan kebiasan orang-orang di perusahaan/organisasi. Oleh karena itu, jika mau risk culture di perusahaan terbentuk dan terpelihara dengan baik, maka sikap dan kebiasaan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan manajemen risiko harus diubah menjadi lebih baik juga. Agar terjadi perubahan, maka diperlukan manajemen perubahan yang efektif dan cerdas, kami menyebutnya Smart Change Management.

Dalam mengelola perubahan yang efektif, maka change agent memerlukan berbagai pendekatan persuasif untuk mempengaruhi para change sponsor dan change target. Salah satu pendekatan efektif yang dapat digunakan oleh change agent adalah penggunaan kamus kompetensi. Kamus kompetensi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku yang harus diikuti dan menjadi indikator perilaku yang direview secara periodik untuk memastikan tertanamnya perilaku-perilaku sadar risiko. Selain itu, change agent juga harus memahami dinamika psikologis para pihak terkait. Untuk itu, ia membutuhkan keahlian ilmu psikologi.

Ilmu psikologi yang diterapkan dengan tepat dapat digunakan untuk mengubah perilaku orang-orang, termasuk digunakan untuk mengubah sikap para pegawai agar sadar dengan risiko. Namun demikian, karena perubahan sikap, perilaku, atau kebiasaan ini berkaitan dengan budaya sadar risiko, maka akan lebih baik jika upaya perubahan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki background psikologi, namun di waktu yang bersamaan juga memahami Risk Management dan Risk Culture.

Oleh karena itu, Consulting kami yang dipimpin langsung by Mohamad Soleh, S.Psi, MM, CRGP merupakan upaya penyusunan pedoman dan tips pelaksanaan manajemen risiko yang praktis, aplikatif, dan ‘membumi’. Berdasarkan hasil elaborasi dari segala kajian dan pembelajaran kami – yang memiliki background ilmu psikologi serta mulai mempelajari tentang Risk Management sejak tahun 2005 di sebuah perusahaan konsultan Project & Risk Management terpadu. Disamping itu, didukung pengalaman saya sebagai konsultan, trainer, dan assessor yang telah membantu berbagai lembaga negara, kementerian, BUMN, perusahaan swasta, dan NGO internasional lainnya. Berbekal pengetahuan dan pengalaman di dunia konsultan dan praktisi tersebutlah, kami menemukan pola yang efektif dalam membangun Risk Culture dan merawatnya secara efektif.

Output/ Consulting Deliverables:

  1. Pedoman Nurturing Risk Culture.

  2. Implementasi Workshop untuk Risk Leader

  3. Implementasi Workshop untuk Risk Officer

  4. Pedoman Risk Culture Awarding

  5. Pedoman Risk Leader Awarding

  6. Asistensi / pembimbingan implementasi 3 bulan pertama